Rabu, 11 Mei 2011

Tugas Kelompok 12

TUGAS AIP PROFESIONALISASI

KODE ETIK ADMINISTRATOR PENDIDIKAN DAN PROFESI LAINNYA






Oleh Kelompok 12:

1. Zulfajri 2008/01072
2. Dhia Mustika 2008/03890
3. Eka Supriadi 2009/93448
4. Agustin Kurnia Putri 2008/03884
5. Feri Syaputra 2009/98996
6. Weni Arsita 2008/03843




JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2011
A. Pengertian Kode Etik
Menurut filsafat kode etik ialah pada dasarnya semua manusia yang cenderung berbuat tidak baik. Maka, jika ada manusia yang melakukan penyimpangan dari etika berarti belum mampu memahami norma, etika, disiplin, aturan, adat istiadat, dan sebagainya yang belaku disekitarnya. Kode etik merupakan rumusan norma-norma dan nilai-nilai luhur yang menyangkut kaidah, menyangkut prilaku manusia yang baik di dalam lingkungannya.
Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.
Kode etik adalah pernyataan cita-cita dan peraturan pelaksanaan pekerjaan (yang membedakannya dari murni pribadi) yang merupakan panduan yang dilaksanakan oleh anggota kelompok. Kode etik yang hidup dapat dikatakan sebagai ciri utama keberadaan sebuah profesi.

B. Pengertian Kode Etik Profesi
Kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh sekelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu di mata masyarakat. Apabila anggota kelompok profesi itu menyimpang dari kode etiknya, maka kelompok profesi itu akan tercemar di mata masyarakat. Oleh karena itu, kelompok profesi harus mencoba menyelesaikan berdasarkan kekuasaannya sendiri. Kode etik profesi merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasarkan penerapan pemikiran etis atas suatu profesi. Kode etik profesi dapat berubah dan diubah seiring perkembangan zaman. Kode etik profesi merupakan pengaturan diri profesi yang bersangkutan, dan ini perwujudan nilai moral yang hakiki, yang tidak dipaksakan dari luar. Kode etik profesi hanya berlaku efektif apabila dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam lingkungan profesi itu sendiri.
Jadi pelanggaran kode etik profesi merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh sekelompok profesi yang tidak mencerminkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu dimata masyarakat.

C. Tujuan Kode Etik Profesi
Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Selain itu ada beberapa tujuan kode etik profesi sebagai berikut:
a. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
b. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
c. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
d. Untuk meningkatkan mutu profesi.
e. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
f. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
g. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
h. Menentukan baku standarnya sendiri.
Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk dari masing-masing orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga profesional merasa bila dia melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang rugi adalah dia sendiri.

D. Fungsi Kode Etik Profesi
a. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan.
b. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.
c. Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi.



E. Penetapan Kode Etik Profesi
Kode etik disusun oleh organisasi profesi sehingga masing-masing profesi memiliki kode etik tersendiri. Misalnya kode etik dokter, guru, pustakawan, pengacara, Pelanggaran kode etik tidak diadili oleh pengadilan karena melanggar kode etik tidak selalu berarti melanggar hukum. Sebagai contoh untuk Ikatan Dokter Indonesia terdapat Kode Etik Kedokteran. Bila seorang dokter dianggap melanggar kode etik tersebut, maka dia akan diperiksa oleh Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia, bukannya oleh pengadilan. Begitu juga dengan kode etik administrator pendidikan, apabila ada yang melanggarnya maka akan diperiksa dan diadili oleh majelis kode etik administrator.
Kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh sekelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu di mata masyarakat. Apabila anggota kelompok profesi itu menyimpang dari kode etiknya, maka kelompok profesi itu akan tercemar di mata masyarakat.

F. Sanksi Pelanggaran Terhadap Kode Etik
Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik; seperti kode itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam praktek sehari-hari control ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-pertimbangan lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana profesi harus memahami betul tujuan kode etik profesi baru kemudian dapat melaksanakannya.
Dalam kode etik profesi dicantumkan ketentuan: “Pelanggar kode etik dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan undang- undang yang berlaku “.
LEGALISASI KODE ETIK PROFESI
Dalam rumusan kode etik dinyatakan, apabila terjadi pelanggaran, kewajiban mana yang cukup diselesaikan oleh Dewan Kehormatan, dan kewajiban mana yang harus diselesaikan oleh pengadilan. Untuk memperoleh legalisasi, ketua kelompok profesi yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat agar kode etik itu disahkan dengan akta penetapan pengadilan yang berisi perintah penghukuman kepada setiap anggota untuk mematuhi kode etik itu. Jadi, kekuatan berlaku dan mengikat kode etik mirip dengan akta perdamaian yang dibuat oleh hakim. Apabila ada yang melanggar kode etik, maka dengan surat perintah, pengadilan memaksakan pemulihan itu.
Sanksi Pelanggaran Kode Etik Profesi:
a. Sanksi moral
b. Sanksi dikeluarkan dari organisasi

Penyebab Pelanggaran Kode Etik Profesi
• Organisasi profesi tidak di lengkapi dengan sarana dan mekanisme bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan dalam suatu kode etik.
• Minimnya pengetahuan masyarakat tentang substansi kode etik profesi dan juga karena buruknya pelayanan sosialisasi dari pihak profesi itu sendiri
• Belum terbentuknya kultur dan kesadaran dari para pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur masing-masing profesi.
• Kesadaran yang tidak etis dan moralitas diantara para pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur masing-masing profesi
Alasan Mengabaikan Kode Etik Profesi:
Pengaruh sifat kekeluargaan
Pengaruh jabatan
Pengaruh konsumerisme

Studi Kasus "Perubahan Organisasi yang terjadi pada MAN 2 Padang"

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan modern sekarang ini, pendidikan dihadapkan pada berbagai tantangan perubahan yang sangat cepat dan kadang-kadang kehadirannya sulit diprediksikan, sehingga menuntut setiap organisasi untuk dapat memiliki kemampuan antisipatif dan adaptif terhadap berbagai kemungkinan sebagai konsekwensi dari adanya perubahan. Begitu pula dengan sekolah, sebagai institusi yang bergerak dalam bidang jasa pendidikan akan dihadapkan pada berbagai tantangan perubahan. Ketidakmampuan sekolah dalam mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, lambat laun akan dapat menimbulkan keterpurukan sekolah itu sendiri, dan habis ditelan oleh perubahan.
Bentuk sikap antisipatif dan adaptif ini dapat dilakukan melalui upaya untuk melaksanakan perbaikan secara terus-menerus dalam proses manajemen. Jika kita mengacu pada konsep Total Quality Manajemen, maka upaya perbaikan secara terus menerus dalam proses manajemen di sekolah menjadi kebutuhan organisasi yang sangat mendasar. Dalam hal ini, Gostch dan Davis (Sudarwan Danim 2002:102) mengemukakan bahwa salah satu kaidah dalam mengaplikasikan TQM adalah adanya perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan. Untuk itu, kegiatan evaluasi dan riset menjadi amat penting adanya. Dengan melalui kegiatan evaluasi dan riset ini akan diperoleh data yang akurat untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan usaha inovatif organisasi dan penyesuaiaian-penyesuaian terhadap berbagai perubahan.
Berbicara tentang sikap antisipatif ini, kita akan diingatkan pula dengan konsep budaya organisasi yang adaptif yang dikemukakan oleh Ralph Klinmann bahwa budaya adaptif merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. (John P. Kotter dan James L. Heskett: 17- 49). Dengan demikian, sikap antisipatif dan adaptif terhadap perubahan seyogyanya menjadi bagian dari budaya organisasi di sekolah, yang ditunjukkan dengan upaya melakukan berbagai perbaikan dalam proses manajemen.
Dalam studi kasus yang dilakukan penulis terhadap MAN 2 Padang, terdapat dua aspek perubaha yang menonjol. Yang pertama yaitu perubahan pada tingkat individu dan yang kedua perubahan pada tingkat organisasi. MAN 2 Padang merupakan madrasah unggulan di kota Padang sedang mengalami perubahan dalam manajemen sekolah. Dalam laporan ini penulis akan membahas apa-apa saja perubahan yang terjadi pada MAN 2 Padang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan studi kasus yang penulis lakukan, maka penulis dapat merumuskan bebrapa masalah yang terjadi pada MAN 2 Padang. Diantaranya:
1. Perubahan yang terjadi pada tingkat individu di MAN 2 Padang
2. Perubahan yang terjadi pada tingkat organisasi di MAN 2 Padang
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan lapora studi kasus ini adalah untu mengetahui perubahan apa saja yang terjadi pada MAN 2 Padang, apa dampak yang ditimbulkan dan bagaimana solusi yang tepat untuk mengantisipasi perubahan tersebut.


BAB II PEMBAHASAN
A. Perubahan yang Terjadi Pada Tingkat Individu di MAN 2 Padang
Mengapa individu berubah atau terlibat dalam proses perubahan’? Menurut Miller, et al. (1990) dalam karyanya ‘Adjustment: The Psychology of Change” ada empat alasan mengapa individu berubah. Ke-empat alasan itu adalah 1) model homeostatis-nya kaum biologis, 2) teori condotioning-nya kaum behavioris, 3) teori self-actualisation-nya kaum humanis, dan 4) teori self-determination.
Dalam model homeostatis, manusia berubah dalam usaha untuk mencapai keseimbangan dalam rangka mempertahankan hidup. Contoh paling sederhana adalah ketika seseorang merasa kegerahan, fungsi thermostat di dalam otak manusia akan memerintahkan tubuh untuk mendinginkannya. Ketika seseorang merasa lapar, otak manusia menyuruh tubuh untuk mencari makan. Manusia melakukan perubahan aktivitas atas perintah otak dalam rangka mencari keseimbangan untuk mempertahankan hidup. Miller et al. menekankan bahwa model homeostatis ini tidak hanya terjadi pada fungsi biologis manusia tetapi juga pada fungsi psikologinya. Kedua, dalam kacamata kaum behavioris, manusia berubah dalam rangka merespon lingkungannya yang selalu berubah. Karena perubahan lingkungan cenderung terjadi setiap saat, maka perubahan yang dilakukan oleh manusia juga mengikuti ritme itu. Alasan ketiga mengapa manusia berubah adalah ketika manusia sudah berhasil memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan tingkat lebih tinggi sampai pada puncaknya yaitu kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Untuk tumbuh menuju tingkat yang lebih tinggi, manusia perlu berubah. Terakhir, sesuai dengan teori self-determination, manusia memiliki pilihan jamak dalam hidupnya. Manusia berubah sebagai konsekuensi dari pilihan-pilihan yang ia lakukan dalam hidupnya (Miller et al., 1990, h.5-13). Saya sependapat dengan Miller et al. (1990) ketika mengatakan bahwa keempat teori di atas mengandung kadar kebenaran tertentu. Walaupun kelihatan sederhana dan memiliki alasan yang gampang dinalar, sesungguhnya dalam melakukan perubahan, individu sering mengalami masalah psikologis yang serius. Manusia cenderung hidup lebih nyaman dalam kepastian dan kemapanan. manusia pada dasarnya akan merasa terlindung dan percaya diri jika mereka hidup dalam keadaan yang terduga dan karenanya kita akan merasa aman untuk hidup dalam kehidupan yang berpola tetap (Evans, 1996, h. 26). Argumen ini didukung oleh deBono (1982) ketika ia menyatakan bahwa tujuan berpikir manusia adalah untuk menemukan pola yang terduga. Begitu pola pikir terbentuk, manusia akan dengan gampang menikmati alur itu .
Karena pusat hidup manusia adalah otaknya, maka kenyamanan yang terjadi dalam pemrosesan informasi dalam otak itu mempengaruhi tingkat kenyamanan hidup manusia. Karena setiap perubahan drastis pada lingkungan memaksa otak untuk melakukan pemrosesan baru dan berakibat kekurangnyamanan, maka manusia cenderung memilih kehidupan yang polanya sudah dikenal dengan baik oleh otak. Artinya, manusia cenderung memilih hidup dalam status quo. Evans (1996) menegaskan kebermaknaan hidup tergantung pada keterdugaan. Dengan demikian, untuk berubah, individu harus rela meninggalkan pola hidup lama dan bersedia memasuki pola baru. Ini dapat berarti bahwa untuk berubah manusia harus meninggalkan kebiasaan, keyakinan, nilai, atau budaya lama yang boleh jadi sudah dipegang, digeluti, diyakini dan dianutnya sejak lama. Untuk berubah, manusia perlu menerima kebiasaan, keyakinan, nilai atau budaya baru walaupun yang baru itu belum diketahui polanya. Apa yang dialami oleh pada para urbanisator, imigran, mereka yang melakukan perkawinan antar suku dan orang-orang yang pindah agama adalah contoh kasusnya.
B. Perubahan pada tingkat organisasidi MAN 2 Padang
Dengan gambaran mengenai besarnya hambatan yang dapat terjadi pada proses perubahan pada tingkat individu tersebut diatas, mari kita dalami apa yang mungkin dapat terjadi dengan perubahan pada tingkat organisasi. Organisasi adalah kumpulan individu. Walaupun sebuah teori dasar yang kuat tentang terbentuknya organisasi, termasuk sekolah, menyebutkan bahwa organisasi dibentuk karena adanya kesamaan tujuan pada individu-individu yang menjadi anggotanya, di dalam organisasi juga terdapat perbedaan kepentingan idiographic yang menonjol diantara masing-masing individu anggota dan perbedaan kepentingan idigrophic dengan kepentingan nomothetic organisasi (Hodgkinson, 1996). Inilah yang mengakibatkan isu perubahan pada tingkat organisasi menjadi jauh lebih kompleks daripada problem perubahan pada tingkat individu Terhadap kompleksitas problematika perubahan di organisasi, ahli manajemen Inggris Roger Gill mengatakan bahwa keberhasilan perubahan pada sebuah organisasi tergantung pada manajemen perubahan dan kepemimpinan perubahan. “Good management of change is sine-qua-non” [manajamen perubahan yang baik adalah keharusan] (Gill, 2003, h. 308). Gill melanjutkan “while change must be well managed, it also requires effective leadership to be successfully introduced and sustained” [disamping perlu dikelola dengan baik, perubahan juga memerlukan pemimpin yang efektif untuk memeperkenalkan dan mempertahankan perubahan itu dengan sukese] (Gill, 2003, h. 307). Dari ke dua pernyataan Gill kita dapat menyimpulkan bahwa pemimpin perubahan yang baik pada sebuah organisasi, termasuk kepala sekolah dan wakasek, bukan hanya memulai dan melaksanakan perubahan tetapi juga harus mengelola perubahan tersebut dengan sebaik-baiknya. Yang saya maksud dengan ‘mengelola’ dalam artikel ini adalah mengarahkan, membatasi, dan mengendalikan perubahan sehingga mencapai sasaran yang diinginkan, bukannya perubahan yang merusak sendi-sendi kehidupan organisasi yang perlu dilestarikan. Manajemen perubahan, misalnya, harus mampu menjaga agar nilai-nilai keimanan kepada Tuhan Yang Mahaesa pada diri siswa dan nilai-nilai kesopanan anak didik kepada guru tetap terlindungi, tidak hilang tercuci oleh derasnya arus perubahan. Hosking (1988) mengingatkan bahwa perubahan dapat berarti ancaman (threats), dapat pula berarti kesempatan. Disamping itu, mengelola perubahan juga berarti melakukan berbagai upaya agar perubahan yang dilakukan berhasil mencapai sasaran. Untuk kepentingan ini, setengah abad yang lalu, Kurt Lewin menyarankan bahwa dalam organisasi “change is better introduced to groups than to individuals [perubahan lebih baik diperkenalkan kepada kelompok daripada kepada individu-individu] (Lewin, 1958, 210).Alasannya, individu cenderung untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota kelompok. Individu, karenanya, cenderung untuk takut meninggalkan standar-standar dan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok. Jika standar dan nilai kelompok tersebut tidak berubah, individu-individu akan takut berubah. Makin jauh seseorang harus berubah meninggalkan standar dan nilai yang dianut kelompok tersebut, makin takutlah ia untuk melakukannya (Lewin, 1958, h.209-210).
Melalui peringatan tersebut Lewin ingin menyarankan bahwa perubahan akan lebih mudah dilakukan jika disetujui oleh kelompok melalui keputusan bersama walaupun realisasi nyata perubahan tersebut dilaksanakan oleh individu-individu anggotanya (Lewin 1958, h.210). Melalui diskusi ini dapat diambil kesimpulan sampingan bahwa perubahan akan lebih baik dilakukan melalui persetujuan pengikut (followers) bukan melalui pemaksaan tehadap bawahan (subordinators). Pengikut melakukan perubahan karena mereka menghendakinya bukan karena paksaan. Ikut tidak-nya seseorang dalam perubahan kolektif seyogyanya merupakan keputusan pribadinya (Evans, 1996, h.171-2) agar perubahan yang dikehendaki bersifat relative tetap (sustainable). Lewin melanjutkan sarannya bahwa perubahan yang berhasil sebaiknya dilaksanakan melalui tahapan-tahapan. Ada tiga tahapan yang Lewin perkenalkan, yakni unfreezing, moving, dan freezing. Tahap unfreezing adalah tahap dimana pemimpin perubahan mengintenskan perasaan tidak puas para pengikutnya terhadap situasi kini. Tahap unfreezing yang berhasil diciptakan oleh pemimpin perubahan ditandai dengan tumbuhnya perasaan pengikut yang "cukup kecewa terhadap keadaannya sekarang"(Evans, 1996, h.57). Inilah sebabnya berbagai contoh kasus perubahan yang terkenal dalam sejarah dimulai oleh kelompok yang tidak puas terhadap keadaan yang mereka alami. Ketika perasaan tidak puas terhadap situasi kini sudah cukup kuat, tahap berikutnya, yakni moving (perubahan), dapat dimulai. Perubahan dalam hal ini adalah berpindah dari keadaan yang tidak memuaskan menuju situasi baru yang diinginkan. Perubahan pada tingkat organisasi menjadi lebih sulit karena biasanya kebiasaan, sistem nilai, budaya dan pola hidup pada organisasi telah membentuk denyut-denyut konservatif yang anti perubahan. Diingatkan oleh Evans (1996) bahwa kekuatan konservatif anti perubahan tidak terlihat di tempat lain secara lebih jelas ketimbang pada apa yang disebut dengan budaya
Untuk mengatasi kesulitan itu diperlukan kemauan dan energi yang besar untuk berubah. Semakin tidak puas subyek perubahan terhadap kebiasaan, pola hidup, nilai dan budaya yang dijalani, semakin besar pula kemauan dan energi untuk berubah. Tetapi, kita tidak dapat terlalu berharap bahwa anggota organisasi—misalnya guru-guru atau pegawai TU di sekolah— pada suasana normal, memiliki cukup rasa tidak puas terhadap situasi kini sehingga mampu memberi tenaga yang cukup besar kepada mereka untuk melakukan perubahan sendirian. Jika ini yang terjadi, yang diperlukan adalah pemimpin-pemimpin perubahan. Tokoh ini diharapkan mampu “mengagitasi” perasaan tidak puas para pengikut. Selain itu, pemimpin perubahan diperlukan “ untuk menunjukkan arah, derajat kejelasan tertentu dan perasaan keberhasilan" (Maggin, 2005, h.ix) atau dengan kata lain memimpin proses perubahan itu sendiri. Jika perubahan sudah berhasil dilakukan, proses berikut yang perlu dilakukan adalah proses freezing, yakni menghentikan proses perubahan untuk menjadikan hasil perubahan itu sebagai kebiasaan baru. Hasil perubahan "perlu dijangkarkan pada budaya organisasi" (Johnson & Luecke, 2005, h.81). Jika proses tidak dihentikan, yang akan terjadi adalah perubahan sepanjang masa. Perubahan sepanjang masa akan menimbulkan absennya pola hidup yang cukup stabil untuk ditransfer menjadi pola pikir pada otak manusia.
Pemimpin perubahan perlu menghargai keberhasilan upaya bersama untuk memperkuat perasaan keberhasilan (sense of success/sense of progress). Pemimpin perubahan seharusnya jangan pelit untuk memberi pujian kepada pengikutnya; syukur mereka dapat memberi reinforcement berupa hadiah atau perayaan kepada guru, staf TU yang berhasil melakukan perubahan.











BAB III PENUTUP
A Kesimpulan Manusia butuh berubah untuk melanjutkan hidupnya; tetapi di pihak lain manusia juga butuh kemapanan dalam derajat tertentu untuk dapat menjalani dan menikmati hidupnya. Oleh karena pertentangan dua hal ini, manusia baik sendiri-sendiri sebagai individu maupun secara kolektif dalam organisasi perlu melakukan perubahan-perubahan sekaligus menciptakan pola-pola hidup yang memudahkan mereka menjalaninya. Cara melakukan perubahan yang sesuai dengan dua kebutuhan hidup yang bertentangan ini adalah membuat perubahan terhadap pola lama yang tidak lagi sesuai atau tidak disenangi untuk menuju pola baru yang diinginkan. Setelah pola baru ditemukan, perlu pemantapan pola tersebut sehingga menjadi pola baru untuk dianut. Siklus baru perubahan dapat dimulai setelah pola baru menjadi mantap (well established). Diperlukan pemimpin perubahan untuk memberi arah dan dorongan agar terjadi perubahan dan memberi penguatan terhadap proses perubahan tersebut. Diperlukan pula manajemen perubahan untuk mengatur dan mengendalikan perubahan supaya tidak melanda sendi-sendi kehidupan yang harus dipertahankan.
B. Saran Mengenai pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:
1. Pihak sekolah MAN 2 Padang harus siap dalam menghadapi perubahan yang terjadi dan bias mengantisipasinya apabila perubahan itu mengacu kepada arah yang kurang baik
2. Diperlukan keterbukaan semua pihak sekolah MAN 2 Padang dalam perubahan tersebut agar nantinya jangan terjadi penolakan atas perubahan tersebut
3. Diperlukan pemimpin perubahan untuk memberi arah dan dorongan agar terjadi perubahan dan memberi penguatan terhadap proses perubahan tersebut.
4. Diperlukan pula manajemen perubahan untuk mengatur dan mengendalikan perubahan supaya tidak melanda sendi-sendi kehidupan yang harus dipertahankan
5. Diperlukan bentuk sikap antisipatif dan adaptif ini untuk melaksanakan perbaikan secara terus-menerus dalam proses manajemen.
6. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui.

Seminar Pendidikan "PERAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH DALAM MENUNJANG PROSES BELAJAR MENGAJAR DI SEKOLAH

MAKALAH SEMINAR

PERAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH DALAM MENUNJANG
PROSES BELAJAR MENGAJAR DI SEKOLAH

“Diajukan sebagai salah satu syarat untuk lulus dalam mata kuliah seminar”







Oleh:

Zulfajri
01072/2008



JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2011
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah ini penulis beri judul tentang dampak perpustakaan sekolah dalam menunjang proses belajar mengajar di sekolah. Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua yang selalu memberikan motivasi dan mencurahkan do’anya untuk penulis. Begitu besar jasa yang telah ayahanda dan ibunda berikan, bekerja keras dan membanting tulang dibawah panasnya terik matahari dengan harapan penulis bisa melanjutkan pendidikannya sampai ke bangku perkuliahan.Penulis berjanji tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan dan jasa yang telah ayahanda dan ibunda berikan.
2. Dosen Pembimbing mata kuliah Seminar yaitu Ibu Dra.Rifma, M.Pd yang selalu memberikan motivasinya dalam perkuliahan.
3. Kakanda penulis yaitu Hefri, ST, Gusmaini, A.md, S.IP, Riswan, S.Pd, dan Abdul Hamid, A.ma yang telah memberikan bantuan berupa moril maupun materil kepada penulis.
4. Sahabat dan rekan-rekan seperjuangan yang telah membantu memberikan dorongan dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan masukan yang berupa kritik dan saran dari berbagai pihak, yang bersifat membangun demi perbaikan penulisan makalah kedepannya. Penulis juga menerima kritikan maupun saran dalam bentuk tertulis yang dapat dikirim ke email zulaip08@yahoo.com atau melalui blogs http://zuL_aip08blogs.blogspot.com/. Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.




Padang, April 2011

Penulis






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………… i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………………...1
B. Tujuan Penulisan……………………………………………………………..3
C. Manfaat Penulisan…………………………………………………………....4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Perpustakaan……………………………………………………..5
a. Perpustakaan Umum……………………………………………………..7
b. Perpustakaan Khusus…………………………………………………….7
c. Perpustakaan Sekolah……………………………………………………8
d. Perpustakaan Perguruan Tinggi………………………………………….8
e. Perpustakaan Nasional…………………………………………………...8

B. Pengertian Perpustakaan Sekolah……………………………………………9
C. Perpustakaan Sekolah yang Ideal…………………………………………...10
D. Fungsi Perpustakaan Sekolah……………………………………………….11
E. Organisasi Perpustakaan Sekolah…………………………………………...16
a. Kendala yang dihadapi………………………………………………….17
b. Upaya Mengatasi Kendala………………………………………………17

F. Hubungan Kurikulum Sekolah dengan Perpustakaan ………………………19
G. Dampak Perpustakaan Sekolah dalam Menunjang Proses
Belajar-Mengajar di Sekolah…………………………………………………21
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan…………………………………………………………………….22
B. Saran……………………………………………………………………...........23
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan Indonesia di bidang pendidikan dewasa ini dapat dilihat dari peningkatan sistem pelaksanaan pendidikan yang diusahakan dari waktu ke waktu. Seperti tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggariskan bahwa pembangunan di bidang pendidikan adalah “upaya mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Depdiknas, UU No. 20 Th. 2003:pasal 3)
Peningkatan mutu pendidikan menjadi kewajiban semua pihak yang terlibat dalam bidang pendidikan. Salah satu usaha dalam peningkatan mutu pendidikan adalah penyediaan perpustakaan sebagai sumber belajar yang dapat memberikan fasilitas belajar. Menurut (Syah, 2000:249), Pengajaran merupakan suatu sistem yang mempunyai komponen yang saling terkait untuk mencapai suatu tujuan. Salah satu komponen dari sistem pengajaran adalah sumber belajar yang dapat dipergunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar memerlukan interaksi dengan sumber belajar. Agar diperoleh hasil yang maksimal dengan tingkat interaksi yang tinggi, maka proses interaksi perlu dikembangkan secara sistematik.
Pengembangan proses interaksi dengan sumber belajar adalah merupakan suatu aktivitas dalam memanfaatkan sumber belajar. Aktivitas yang tinggi hendaknya memanfaatkan sumber belajar yang tersedia secara optimal terutama sumber belajar perpustakaan. Perpustakaan diharapkan dapat menunjang kelancaran proses belajar mengajar sehingga tujuan yang ditetapkan dapat tercapai. Pencapaian tujuan ini untuk pengembangan pribadi siswa baik dalam mendidik diri sendiri secara berkesinambungan dalam memecahkan segala masalah, mempertinggi sikap sosial dan menciptakan masyarakat yang demokratis.
Keberadaan perpustakaan di sekolah sangat penting artinya karena kegiatan mengajar di kelas pada umumnya bersifat terbatas dan kurang tuntas bahkan seringkali baru merupakan penggerak bagi perkembangan pelajaran siswa. Salah satu usaha untuk mengatasi keterbatasan kegiatan belajar mengajar adalah dengan menyediakan informasi yang mudah diperoleh siswa. Penyediaan informasi ini berupa buku-buku yang menunjang pencapaian hasil belajar.
Dalam dunia pendidikan, buku terbukti berdaya guna dan bertepat guna sebagai salah satu sarana pendidikan dan sarana komunikasi. Dalam kaitan inilah perpustakaan dan pelayanan perpustakaan harus dikembangkan sebagai salah satu instalasi untuk mewujudkan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Perpustakaan merupakan bagian yang vital dan besar pengaruhnya terhadap mutu pendidikan.
Keberadaan perpustakaan sekolah di lingkungan sekolah masih kurang mendapat perhatian. Hal ini dapat dilihat dari rendahnnya pertumbuhan perpustakaan pada lembaga pendidikan, khususnya pada tingkat Pendidikan Menengah dan Pendidikan Dasar. Dari 286.923 unit sekolah di seluruh Indonesia, belum seluruhnya memiliki perpustakaan sekolah (Data Jardiknas, 2009). Selanjutnya data Depdiknas tahun 2007, baru 5 % SD/MI yang mempunyai perpustakaan sekolah, SMP sekitar 42 % dan SMA sekitar 68%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa perpustakaan sekolah belum menjadi prioritas sebagai program yang perlu diperhatikan untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar.
Sementara itu dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menyatakan perlunya peningkatan peran perpustakaan sekolah sebagai penunjang proses kegiatan belajar siswa dan guru. Kurikulum tahun 2006 ini menuntut guru untuk lebih aktif dalam mengembangkan pembelajaran khususnya dalam mengembangkan indikator pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Untuk itu pada setiap satuan unit sekolah perlu didukung perpustakaan yang mampu berfungsi dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang peran perpustakaan sekolah dalam menunjang proses belajar-mengajar di sekolah. Dengan keterbatasan waktu dan bahan penulis mencoba menggarap makalah ini dengan semaksimal mungkin. Apapun nanti kritikan yg penulis peroleh mudah-mudahan bisa menjadi motivasi bagi penulis untuk lebih baik kedepannya.
B. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan permasalahan yang ditemui, adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut:
1. Menjelaskan tentang perpustakaan dan jenis-jenis perpustakaan
2. Menjelaskan tentang pengertian perpustakaan sekolah
3. Menjelaskan tentang perpustakaan sekolah yang ideal
4. Menjelaskan tentang fungsi perpustakaan sekolah
5. Menjelakan tentang organisasi perpustakaan sekolah yang didalamnya ada kendala yang dihadapi dan upaya mengatasi kendala tersebut
6. Menjelaskan hubungan kurikulum sekolah dan perpustakaan
7. Menjelaskan dampak perpustakaan sekolah dalam menunjang sukses belajar-mengajar di sekolah

C. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat kepada pihak-pihak terkait, diantaranya:
1. Bagi penulis, agar dapat menambah pengetahuan penulis tentang peran perpustakaan dalam menunjang proses belajar-mengajar di sekolah.
2. Memberikan informasi kepada semua pihak khususnya pembaca tentang peran perpustakaan dalam menunjang proses belajar-mengajar di sekolah.







BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perpustakaan
Wiranto (2004:1) menyatakan: “Perpustakaan merupakan satu-satunya pranata ciptaan manusia tempat manusia dapat menemukan kembali informasi yang permanen secara luas ruang lingkupnya. Meskipun tidak semua anggota masyarakat menggunakan perpustakaan, masyarakat menyadari bahwa perpustakaan mempunyai efek sosial, ekonomi, politik dan edukatif. Sebagai sebuah institusi yang berfungsi sebagai lembaga edukatif, perpustakaan merupakan salah satu perangkat penyelenggaraan pendidikan yang berdaya upaya ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Perpustakaan menyediakan bahanbahan pustaka sebagai sumber belajar dan sumber informasi, baik tercetak maupun terekam”.
Soeatminah (2002:32) menegaskan: “Perpustakaan merupakan lembaga yang menghimpun koleksi buku dan menyediakan sarana bagi orang untuk memanfaatkan koleksi pustaka tersebut. Dalam hal ini perpustakaan terdiri dari empat unsur yakni: koleksi pustaka, pengguna perpustakaan, sarana dan pustakawan”.
Sutarno (2005:1) menyatakan: “ Perpustakaan merupakan salah satu lembaga ilmiah, yakni lembaga yang bidang dan tugas pokoknya berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan, penelitian, dan pengembangan, dengan ruang lingkupnya mengelola informasi yang mencakup berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Jadi, berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat penulis simpulkan, perpustakaan merupakan sumber belajar dan informasi yang didalamnya terdapat koleksi pustaka yang diatur sedemikian rupa untuk keperluan tertentu sesuai dengan maksud diselenggarakannya pengumpulan koleksi pustaka tersebut. Dalam pengertian tersebut di atas menunjukkan bahwa harus ada lima unsur untuk terpenuhinya syarat sebuah perpustakaan, yakni:(1) merupakan sebuah lembaga; (2) memiliki koleksi bahan pustaka, baik yang tercetak maupun yang terekam; (3) ada yang menggunakan koleksi bahan pustaka; (4) memiliki sarana perpustakaan diantaranya koleksi bahan pustaka, tempat mengatur bahan pustaka, pencatatan/administrasi perpustakaan; dan (5) adanya pengelola perpustakaan yang menguasai di bidang perpustakaan atau pustakawan.
Perpustakaan sebagai lembaga, mengandung pengertian bahwa suatu perpustakaan harus mempunyai status jelas sebagai lembaga. Perpustakaan harus mempunyai komponen utama yang mendukung pelaksanaannya, yaitu koleksi bahan pustaka yang tercetak maupun terekam. Perpustakaan diadakan untuk melayani para penggunanya, yang memiliki sarana ruangan/bangunan/gedung, rak tempat koleksi bahan pustaka, meja, kursi serta perlengkapan administrasinya. Perpustakaan dikelola oleh petugas perpustakaan yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga induknya berdasarkan ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi yang dimilikinya melalui pendidikan (Soeatminah, 2002:161).


Sependapat dengan Soeatminah, Mulyani (1983:4) menyatakan: “Perpustakaan merupakan suatu unit kerja yang berupa tempat untuk mengumpulkan, menyimpan dan memelihara koleksi bahan pustaka yang dikelola secara sistematis dengan cara tertentu, untuk digunakan secara terus menerus oleh penggunanya sebagai sumber informasi”
Perpustakaan menurut para ahli diklasifikasikan ke dalam 5 kelompok sebagaimana dikemukakan oleh Soeatminah (2002:34), sebagai berikut: Agar perpustakaan dapat dimanfaatkan secara baik oleh para penggunanya, maka perpustakaan dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu: (1) perpustakaan umum; (2) perpustakaan khusus; (3) perpustakaan sekolah; (4) perpustakaan wilayah; dan (5) perpustakaan nasional. Berikut penulis paparkan uraian kelima jenis perpustakaan tersebut:
a. Perpustakaan Umum
Merupakan perpustakaan yang mempunyai fungsi melayani seluruh lapisan masyarakat. Karena setiap kelompok masyarakat mempunyai kebutuhan dan minat yang berbeda terhadap bahan pustaka, maka perpustakaan umum wajib menghimpun koleksi yang dapat diminati oleh semua kelompok masyarakat pemakainya. Salah satu contoh perpustakaan umum adalah Perpustakaan Wilayah yang berada di setiap propinsi yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mulai tanggal 1 April 1999. Perpustakaan Wilayah berubah menjadi Perpustakaan Daerah yang bernaung di bawah Perpustakaan Nasional yang statusnya di bawah Gubernur
b. Perpustakaan Khusus
Mempunyai tugas melayani suatu kelompok masyarakat khusus yang memiliki kesamaan dalam kebutuhan dan minat terhadap bahan pustaka dan informasi perpustakaan khusus dibedakan menjadi tiga macam berdasarkan tiga macam kelompok
masyarakat khusus, yakni: perpustakaan khusus bidang ilmu/profesi,perpustakaan khusus perkantoran dan perpustakaan khusus perusahaan.
c. Perpustakaan Sekolah
Perpustakaan sekolah merupakan perpustakaan yang ada di sekolah sebagai sarana pendidikan untuk menunjang pencapaian tujuan pendidikan prasekolah, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Perpustakaan sekolah memberikan layanan kepada pembaca di sekolah meliputi murid, guru, kepala sekolah, dan staf administrasi lainnya. Guru bersama pustakawan harus berusaha agar murid-murid juga membiasakan diri membaca di perpustakaan. Hal ini dimaksudkan agar mereka dapat mencari informasi secara mandiri di perpustakaan. Kerja sama antara pustakawan dan orang tua murid juga harus dibina dan dikembangkan dalam rangka pembinaan perpustakaan.
d. Perpustakaan Perguruan Tinggi
Adalah suatu unsur penunjang yang merupakan perangkat kelengkapan di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Tujuan Pendidikan Tinggi adalah menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/ atau professional yang dapat menerapkan, mengembang-kan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau kesenian. Selain tugas pendidikan tinggi juga bertugas untuk mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
e. Perpustakaan Nasional
Pada umumnya diselenggarakan oleh negara yang mempunyai tugas melestarikan semua terbitan dan rekaman yang dilakukan di negara yang bersangkutan, melestarikan semua tulisan mengenai negara dan warga negaranya dan semua tulisan warga negaranya. Perpustakaan Nasional mempunyai tugas pokok membantu presiden dalam menyelenggarakan perkembangan dan pembinaan perpustakaan dalam rangka pelestarian bahan pustaka sebagai hasil budaya dan pelayanan informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan.

B. Pengertian Perpustakaan Sekolah
Menurut Ishak (2009:2), ” Perpustakaan sekolah dapat diartikan sebagai tempat kumpulan koleksi bahan pustaka buku-buku atau tempat buku yang dihimpun dan diorganisasikan sebagai media belajar siswa”. Hakikat penyelenggaran perpustakaan sekolah adalah sebagai pusat sumber belajar dan sumber informasi bagi warga sekolah. Jika dikaitkan dengan proses belajar mengajar di sekolah, perpustakaan sekolah memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam upaya meningkatkan aktivitas siswa serta meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran.
Menurut Hartoyo, dkk (1995:7), ” pengertian perpustakaan sekolah meliputi perpustakaan yang berada di sekolah dasar dan menengah. Kata perpustakaan sering hanya diberi makna sejumlah buku-buku atau suatu tempat untuk menyimpan buku-buku, sedangkan pengelolaan buku tesebut tidak terpikirkan sama sekali “.





C. Perpustakaan Sekolah yang Ideal
Bagaimana cara mewujudkan perpustakaan yang ideal dapat melayani pemakai dalam hal ini siswa dengan baik dan efektif sehingga siswa dapat menemukan informasi secara cepat dan tepat. Untuk mewujudkan hal itu tentu saja bukan pekerjaan yang mudah tapi bisa terlaksana. Perpustakaan ideal memang menjadi idaman bagi warga sekolah. Sangat tidak menguntungkan menempatkan perpustakaan dipojok yang jauh dari jangkauan dan membuat siswa malas berkunjung. .Selain itu petugas perpustakaan yang kerjanya tidak profesional akan membuat perpustakaan sulit berkembang.
Pelayanan yang tidak maksimal dan kurang ramah mengakibatkan siswa malas menghampiri perpustakaan. Pengaturan waktu berkunjung yang terbatas juga menjadikan siswa kesulitan memanfaatkannya. Belum lagi isi perpustakaan dan suasana ruangan yang kacau dan semrawut, akan semakin membuat siswa malas berkunjung ke perpustakaan.Intinya mengharapkan perpustakaan ideal di sekolah membutuhkan kerja yang telaten dan terus menerus. Petugas perpustakaan harus mampu membuag rasa bosan yang sewaktu-waktu muncul dari dalam diri ketika berhadapan dengan kondisi rutin perpustakaan yang dikelolanya.
Perpustakaan sekolah yang baik memang bersifat relatif, namun demikian bukan berarti kriteria tersebut tidak bisa dirumuskan sama sekali. Sifat relatif ini disebabkan oleh kondisi dari sekolah yang sangat beragam. Ada sekolah yang mempunyai sarana yang lengkap, sedangkan pada sisi lain masih ada sekolah yang sarana pendukungnya kurang lengkap.
Ishak (2009:7) menyebutkan ada beberapa criteria dari perpustakaan sekolah yang ideal yang dapat berfungsi sebagai sumber belajar siswa secara memadai.
1. Adanya status organisasi yang kuat dari perpustakaan,
2. Strukur organisasi perpustakaan jelas dan berjalan dengan baik,
3. Memiliki ruangan yang memadai sesuai dengan jumlah siswa dan jumlah koleksi,
4. Memiliki tempat baca yang memadai,
5. Memiliki perabot perpustakaan yang memadai,
6. Partisipasi pemakainya (siswa dan guru) baik dan efektif,
7. Jenis koleksi mencerminkan komposisi yang baik antara buku teks dengan buku fiksi, yaitu 40% untuk buku teks, 30% buku-buku pengayaan, dan 30%buku fiksi serta judul buku yang dimiliki bervariasi.
8. Koleksi yang dimilki sesuai dengan kebutuhan kurikulum sekolah,
9. Memiliki tenaga pustakawan atau tenaga pengelola dengan kompetensi yang memadai,
10. Pengorganisasian koleksi teratur dan menurut standar yang berlaku, didukung dengan teknologi informasi dan komunikasi,
11. Administrasi perpustakaan tertib,
12. Memiliki sarana penelusuran informasi yang baik (katalog online)
13. Memiliki peraturan perpustakaan,
14. Memiliki program pengembangan secara jelas dan terarah,
15. Memiliki program pengembangan minat membaca dikalangan siswa,
16. Memiliki program mitra perpustakaan,
17. Melakukan kegiatan promosi dan pemasyarakatan perpustakaan,
18. Kegiatan perpustakaan terintegrasi dengan kurikulum kegiatan belajar,
19. Memiliki anggaran perpustakaan secara tetap,
20. Adanya kerja sama dengan sekolah lain,
21. Pelayanan menyenangkan,
22. Ada jam perpustakaan yang terintegrasi dalam kurikulum.
Parameter di atas tentunya tidak bisa diterapkan di semua sekolah, karena masing-masing sekolah kondisinya tidak sama. Dengan adanya parameter tersebut pihak sekolah dapat mengembangkan perpustakaan sekolah secara ideal.

D. Fungsi Perpustakaan Sekolah
Peran pustakawan sebagai tenaga professional memang sangat diperlukan di sekolah. Perannya yang utama adalah sebagai pengorganisasi bahan-bahan pustaka bagi pemenuhan kebutuhan belajar-mengajar, dan sebagai pembimbing tentang cara-cara bagaimana menggunakan bahan pustaka untuk kepentingan belajar-mengajar. Dengan kata lain keberadaan pustakawan di sekolah sangat diperlukan untuk mengatur lingkungan belajar yang cocok dan serasi dengan kebutuhan guru dan siswa di sekolah. Ia harus pandai menciptakan lingkungan belajar sedmikian rupa sehingga guru dan siswa betah di perpustakaan, karena di tempat tersebut tersedia berbagai bahan pustaka yang memenuhi berbagai selera dan berbagai tingkatan kepandaian. Semua bahan pustaka tersebut diatur agar mudah digunakan dengan tanpa peraturan yang berbelit-belit.
Layanan yang diberikan oleh perpustakaan sangat erat kaitannya dengan tujuan pendidikan dan tujuan sekolah. Pembicaraan mengenai fungsi perpustakaan di sini akan dikaitkan juga dengan berbagai kegiatan dalam pelayanan yang secara tradisional telah dikerjakan oleh perpustakaan. Hal ini dimaksudkan agar terlihat bagaimana hubungan yang terjadi antara berbagai fungsi perpustakaan itu dengan kegiatan-kegiatan yang yang dilaksanakan. Fungsi-fungsi perpustakaan sekolah meliputi:
1. Pusat Layanan Bahan Pustaka
Fungsi pertama perpustakaan sekolah ialah menjadi pusat layanan bahan-bahan pustaka bagi siswa dan guru. Layanan kepada siswa dapat bermacam-macam, tergantung dari usia dan tingkat pendidikan mereka. Namun, karena siswa pada tingkat pendidikan dasar pada umumnya masih sangat perlu diberi banyak motivasi untuk senang membaca, maka pemberian layanan yang berupa penyediaan berbagai bahan bacaan yang merangsang minat baca mereka sangat diutamakan.
2. Bimbingan Membaca
Fungsi kedua dalam kegiatan pelayanan perpustakaan sekolah ialah member bimbingan membaca. Peran bimbingan harap jangan diremehkan terutama dalam pendidikan modern, sebab bimbingan inilah yang membedakan pendidikan modern dengan pendidikan lama. Dalam kaitannya dengan membaca, terdapat dua macam pendekatan, yaitu bimbingan langsung dan tak lansung. Dalam bimbingan tak langsung, guru atau pustakawan tidak perlu berhadapan langsung sebagaimana layaknya hubungan konselor dan siswa yang bermasalah, melainkan dengan cara menyediakan suasana belajar yang mendukung sehingga siswa dapat menemukan pemecahan masalahnya dengan bergaul dan berinteraksi dengan teman-temannya di dalam kelompoknya.
Bimbingan dengan pendekatan langsung berarti guru atau pustakawan harus sering berhadapan langsung dengan siswa, apakah secara individual atau secara kelompok. Dengan komunikasi dua arah ini, maka persoalan yang dihadapi siswa dapat dipecahkan dengan baik.
3. Faktor Pengikat
Fungsi perpustakaan sekolah yang lain yang cukup penting ialah sebagai pengikat pengalaman belajar siswa selama di sekolah. Sebagaimana diketahui siswa menerima pelajarannya di kelas dalam bentuk mata pelajaran yang berdiri sendiri, terpisah antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lain. Bahan ajaran yang dipelajari secara sendiri-sendiri ini pada dasarnya kurang memiliki nilai pendidikan yang permanen. Keberadaan perpustakaan sekolah akan menjadi faktor pengikat yang menguntungkan bagi pengalaman belajar mereka.
Dengan banyak membaca siswa akan mampu menyerap buku-buku yang dibacanya. Ia akan mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan minatnya. Ia akan membaca dengan tujuan ntertentu yang jelas tujuannya akan berbeda dengan tujuan membaca sewaktu di dalam pelajaran membaca di kelas.
Fungsi perpustakaan sekolah menurut keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 01/03/0/1981 tanggal 11 Maret mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Pusat kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan seperti tercantum dalam kurikulum sekolah.
2. Pusat penelitian sederhana yang memungkinkan para siswa mengembangkan kreatifitas dan imajinasinya.
3. Pusat membaca buku-buku yang bersifat kreatif dan mengisi waktu luang (buku-buku hiburan)



Disamping itu fungsi perpustakaan sekolah dapat dibedakan atas 5 macam, yaitu:
1. Fungsi Edukatif
Yang dimaksud dengan fungsi edukatif adalah perpustkaan menyediakan bahan pustaka yang sesuai dengan kurikulum yang mampu membangkitkan minat baca para siswa, mengembangkan daya ekspresi, mengembangkan kecakapan berbahasa, mengembangkan gaya pikir yang rasional dan kritis serta mampu membimbing dan membina para siswa dalam hal cara menggunakan dan memelihara bahan pustaka dengan baik.
2. Fungsi Informatif
Yang dimaksud dengan fungsi informatif adalah perpustakaan menyediakan bahan pustaka yang memuat informasi tentang berbagai cabang ilmu pengetahuan yang bermutu dan uptodate yang disusun secara teratur dan sistematis, sehingga dapat memudahkan para petugas dan pemakai dalam mencari informasi yang diperlukannya
3. Fungsi Administratif
Yang dimaksudkan dengan fungsi administratif ialah perpustakaan harus mengerjakan pencatatan, penyelesaian dan pemrosesan bahan-bahan pustaka serta menyelenggarakan sirkulasi yang praktis, efektif, dan efisien.
4. Fungsi Rekreatif.
Yang dimaksudkan dengan fungsi rekreatif ialah perpustakaan disamping menyediakan buku-buku pengetahuan juga perlu menyediakan buku-buku yang bersifat rekreatif (hiburan) dan bermutu, sehingga dapat digunakan para pembaca untuk mengisi waktu senggang, baik oleh siswa maupun oleh guru

5. Fungsi Penelitian
Yang dimaksudkan dengan fungsi penelitian ialah perpustakaan menyediakan bacaan yang dapat dijadikan sebagai sumber / obyek penelitian sederhana dalam berbagai bidang studi.
6. Fungsi Inspirasi
Buku yang terdapat dalam perpustakaan yang beraneka ragam jenis, judul, dan karangannya dapat menimbulkan inspirasi bagi setiap pembaca. Pada siswa yang belajarpun dapat menimbulakn inspirasi dan akan menemukan sendiri materi yang akan ia pelajari nantinya.
7. Fungsi Dokumentasi
Perpustakaan merupakan tempat menyimpan dan memelihara hasil karya para ahli dalam bentuk tertulis atau catatan yang telah dihasilkan pada masa lalu dan masa kini. Fungsi okumentasi dalam perpustakaan sangatlah besar artinya yaitu sebagai tempat penyimpanan bahan koleksi buku-buku sesaat yang diperlukan oleh siswa.
E. Organisasi Perpustakaan Sekolah
Penyelenggaraan perpustakaan sekolah diharapkan dapat menciptakan atmosfir sekolah yang kondusif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Perpustakaan sekolah juga dapat mendorong tumbuhnya daya kreasi dan imajinasi anak melalui berbagai bacaan yang tersedia di perpustakaan. Untuk bisa menciptakan kondisi tersebut organisasi perpustakaan sekolah haruslah dapat mendukung peran dan tugas yang lebih professional.
Pengorganisasian atau pengaturan perpustakaan sekolah merupakan tanggung jawab pustakawan sekolah. Organisasi merupakan aspek manajemen yang menyangkut penyusunan organisasi manusia dan bahan atau materi. Kegiatan ini meliputi:
1. Pengaturan pelayanan peminjaman yang efisien kepada staf pengajar maupun siswa.
2. Menyediakan sistem yang efisien mengenai pelayanan pemesanan bahan atau koleksi yang ada di sekolah dan memberikan sistem peminjaman silang layanan (inter- library loan) untuk bahan-bahan yang berada di luar sekolah.
3. Memberikan system yang fleksibel bagi siswa baik perorangan maupun kelompok, serta staf pengajar untuk menggunakan perpustakaan sekolah untuk tujuan proses belajar mengajar.
4. Menjalankan suatu system yang memungkinkan sumber-sumber informasi dalam bentuk perangkat keras (jika dipusatkan) dapat digunakan dengan cara yang sehemat dan seefisien mungkin ke berbagai tempat di sekolah.
5. Mengatur produksi sumber belajar di dalam perpustakaan sekolah (jika ada).
6. Mengawasi dan mengatur pekerjaan bagi pustakawan atau staf perpustakaan yang lain (jika ada).
a. Kendala yang dihadapi
Umumnya organisasi perpustakaan sekolah masih mengalami kendala yang disebabkan berbagai factor sebagai berikut:
1. Belum adanya komitmen bersama tentang posisi perpustakaan sekolah sebagai unit yang strategis dalam menunjang proses pembelajaran di sekolah.
2. Minimnya dana operasional pengelolaan dan pembinaan perpustakaan sekolah.
3. Terbatasnya tenaga pengelola perpustakaan yang mampu mengelola perpustakaan serta mengembangkannya sebagai sumber belajar bagi siswa dan guru.
4. Lemahnya koleksi perpustakaan sekolah. Umumnya perpustakaan sekolah hanya digunakan sebagai tempay menyimpan buku paket/buku pelajaran dari pemerintah.
5. Kepedulian penentu kebijakan terhadap perpustakaan masih kurang, bahkan keberadaan perpustakaan hanya sebagai pelengkap.
6. Masih kurangnya sarana dan prasarana yang diperlukan termasuk ruang perpustakaan sekolah.
7. Belum adanya jam perpustakaan sekolah yang terintegrasi dengan kurikulum.
8. Kegiatan belajar mengajar belum memanfaatkan perpustakaan secara maksimal, guru belum secara maksimal memberikan tugas kepada siswa yang terkait dengan pemanfaatan perpustakaan sekolah.
b. Upaya Mengatasi Kendala
Untuk mengatasi masalah tersebut perpustakaan memang perlu mendapat perhatian. Sekolah perlu melakukan berbagai upaya agar perpustakaan dapat berjalan paling tidak sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah. Standar yang telah dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional memang perlu dijadikan acuan. Namun itu semua perlu disesuaikan dengan kondisi sekolah.
Ada beberapa cara mengatasi kondisi yang kurang mendukung, misalnya masalah ruangan perpustakaan dan tenaga pengelola. Kalau sekolah belum memiliki ruang perpustakaan, koleksi dapat dipindahkan ke kelas yang mencerminkan kebutuhan kelas dan dibawah pengawasan wali kelas. Pada kondisi ini diperlukan kedisiplinan administrasi agar buku dapat dikelola dengan baik. Siapa yang meminjam dan kapan harus kembali. Konsep perpustakaan kelas sudah diterapkan di beberapa sekolah yang tidak memiliki ruangan perpustakaan.
Masalah dana misalnya, dapat diatasi dengan mengadakan kerjasama dengan Komite Sekolah. Pendekatan dengan Komite Sekolah dan menyampaikan program sekolah termasuk didalamnya adalah program pengembangan perpustakaan. Perpustakaan perlu mendapat dukungan dana tetap dari Komite Sekolah sehingga koleksinya dapat ditambah setiap periode tertentu. Tanpa adanya penyegaran koleksi perpustakaan menjadi kering dan kurang menarik minat siswa untuk dating dan memanfaatkannya.
Beberapa pakar bidang perpustakaan mengatakan mendirikan perpustakaan itu mudah, tetapi untuk menjaga kelangsungannya diperlukan kerja serius dan program yang jelas dan terarah. Karena dalam pelaksanaannya banyak tantangan dan itu harus diatasi agar perpustakaan terus dapat berfungsi sebagai sumber belajar.
F. Hubungan Kurikulum Sekolah dengan Perpustakaan
Bila kita perhatikan dengan seksama perubahan pendidikan yang berlangsung akhir-akhir ini akan terlihat bahwa arahnya ialah menjadikan perpustakaan sekolah sebagai tempat untuk mendidik “sumber daya manusia” yang siap melayani masyarakat dan mengambil peran bagi masa depan bangsa. Hal ini berarti bahwa perhatian menghapalkan fakta-fakta melainkan pada pemahaman, bukan pada kecerdasan melulu melainkan juga pada kesejahteraan dan perkembangan emosional, sosial, rohani, dan jasmani. Dengan menyadari kecenderungan-kecenderungan seperti ini, sekolah diharapkan dapat mengembangkan suatu strategi untuk memupuk sifat-sifat tersebut.
Sedangkan mengenai bidang-bidang yang menjadi perhatian utama didalam perubahan kurikulum terlihat dari tujuan belajar-mengajar yang dinyatakan dalam istilah-istilah yang mengandung bentuk tingkah laku yang bisa diamati perubahannya. Pernyataan tujuan belajar-mengajar menyebutkan kegiatan dan hal apa saja yang dapat dikerjakan dan dipelajari oleh siswa sebagai hasil pengalaman belajar.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kurikulum disekolah. Factor yang sangat penting ialah sikap kepala sekolah. Sikap kepala sekolah akan bisa menentukan apakah sekolah menerapkan kurikulum yang memanfaatkan sumber belajar yang tersedia diperpustakaan atau tidak. Sikap kepala sekolah juga akan menentukan bentuk organisasi perpustakaan dan bagaimana pengunaanya. Dikap kepala sekolah pula yang akan menyebabkan guru-guru yang akan memanfaatkan perpustakaan secara efektif atau tidak.
Selain sikap kepala sekolah, gaya mengajar dan metode mengajar guru juga mempengaruhi pengunaan perpustakaan sekolah. Dengan gaya metode yang berbeda-beda yanag dimiliki oleh masing-masing guru, guru akan menerapkan pengajarannya yang terpusat pada kegiatan didalam kelas saja, yang terpusat pada guru, atau terpusat pada sumber-sumber belajar yang tersedia diperpustakaan, yang berarti terpusat pada kegiatan belajar yang mandiri.
Dengan demikian, peran perpustakaan sekolah dalam pembangunan kurikulum sebenarnya sangat tergantung pada sikap kepala sekolah dan gaya serta metode mengajar guru. Meskipun demikian, pustakawan masih memiliki kesempatan untuk menyampaikan saran-saranya baik kepala sekolah maupun guru mengenai bahan-bahan pustaka yang tersedia untuk keperluan pengembangan kurikulum. Kesempatan tersebut bisa terjadi bila terdapat kerjasama yang erat terutama antara guru dan pustakawan. Karena kurikulum mengandung makna adanya interaksi yang direncanakan siswa dan isi, sumber belajar, dan proses pengajaran, maka komunikasi langsung antara guru dan pustakawan menjadi sangat penting.
Guru yang inovatif dan kreatif akan merencanakan pengajarannya dengan bekerjasama dengan perpustakaan, karena perpustakaan mampumemberikan pelayanannya sesuai dengan fungsi yang dimilikinya. Pengajaran yang direncanakan demikian akan banyak memanfaatkan sumber-sumber pustaka, fasilitas perpustakaan, dan bimbingan pustakawan. Setiap langkah dalam pengajaran mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi, bisa merupakan kerjasama yang erat yang dilandasi tanggung jawab bersama antara guru dan pustakawan. Guru mengadakan kerjasama dengan perpustakaan karena ia merasakan adanya keterbatasan di dalam buku-buku pelajaran, pengalaman di kelas, maupun struktur pelajarannya.
Dengan singkat maka dapat dikatakan perpustakaan dapat mendukung dan bahkan menjadi bagian yang integral dari kurikulum sekolah melalui penyediaan sumber belajar, partisipasi pustakawan dalam menyusun bahan pelajaran, bimbingan membaca, dan kerjasama guru dan pustakawan.
G. Peran Perpustakaan Sekolah dalam Menunjang Proses Belajar-Mengajar
di Sekolah
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa proses belajar mengajar dalam lingkungan sekolah perlu didukung oleh sarana perpustakaan yang representative sebagai sumber belajar mengajar. Sebagai sumber belajar perpustakaan sekolah mengemban beberapa fungsi yang amat penting. Fungsi perpustakaan tersebut akan dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh komitmen yang tinggi dari seluruh masyarakat sekolah, seperti penentu kebijakan pada tingkat departemen, tingkat daerah, tingkat sekolah (kepala sekolah, guru, dan pengelola perpustakaan).
Keberadaan perpustakaan sekolah perlu ditangani secara baik dan memadai. Untuk itu diperlukan pengembangan koleksi yang sesuai dengan kurikulum, organisasi dan penguatan kelembagaan perpustakaan, pengelolaan perpustakaan dengan memanfaatkan teknologi informasi, pelayanan, penyediaan sarana dan prasarana, serta program promosi dan pengembangan perpustakaan.
Perpustakaan sebagai lembaga penyedia ilmu pengetahuan dan informasi mempunyai peranan yang signifikan terhadap lembaga induk serta masyarakat penggunanya. Demikian halnya di dalam lingkungan pendidikan seperti sekolah. Perpustakaan sekolah merupakan pusat sumber ilmu pengetahuan dan informasi yang berada di sekolah, baik tingkat dasar sampai dengan tingkat menengah.
Perpustakaan sekolah harus dapat memainkan peran, khususnya dalam membantu siswa untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Untuk tujuan tersebut, perpustakaan sekolah perlu merealisasikan misi dan kebijakannya dalam memajukan masyarakat sekolah dengan mempersiapkan tenaga pustakawan yang memadai, koleksi yang berkualitas serta serangkaian aktifitas layanan yang mendukung suasana pembelajaran yang menarik. Dengan memaksimalkan perannnya, diharapkan perpustakaan sekolah bisa mencetak siswa untuk senantiasa terbiasa dengan aktifitas membaca, memahami pelajaran, mengerti maksud dari sebuah informasi dan ilmu pengetahuan, serta menghasilkan karya bermutu. Sehingga pada akhirnya prestasi pun relatif mudah untuk diraih.
Perpustakaan sekolah merupakan pusat masyarakat sekolah dalam mencari sumber informasi dan ilmu pengetahuan. Selain kinerja pustakawan sekolah serta koleksi yang baik, aktifitas layanan perlu diberdayakan guna mendukung peran perpustakaan sekolah. Aktifitas layanan perpustakaan sekolah akan banyak dipengaruhi oleh aktifitas siswa dalam memanfaatkannya.
Sebagai mitra siswa dalam belajar, perpustakaan sekolah dapat merencanakan user education agar siswa memahami maksud dan tujuan layanan yang diberikan. Pustakawan sekolah harus kreatif dalam mengemas layanan panduan siswa ini. Jadwal untuk user education ini perlu disusun sedemikian rupa agar berjalan secara efektif. Di sini siswa perlu dikenalkan bagian-bagian yang ada di perpustakaan sekolah. Seperti bagian peminjaman, penjajaran di rak koleksi, dsb. Di samping itu, perlu juga diajarkan fungsi dari masing-masing koleksi yang ada di perpustakaan.
Dengan memahami maksud beberapa informasi yang ada di perpustakaan, siswa tidak akan salah jalan ketika akan mencari informasi dan ilmu pengetahuan sebagai pelengkap/tambahan dari mata pelajaran yang diterima di kelas. Di kelas, pelajaran yang mereka terima tentu dapat dikembangkan dengan menggunakan acuan/sumber informasi di perpustakaan. Siswa bisa memperdalam ilmunya secara lebih detail. Proses penyerapan dan penalaran pelajaran merupakan awal dari proses yang harus dilalui siswa untuk menghasilkan karya yang bermutu. Siswa yang sering memanfaatkan perpustakaan sekolah, akan terbiasa dengan koleksi yang ada. Karena kelengkapan sumber informasi sangat menentukan dalam membuat karya yang bermutu, maka semakin banyak sumber informasi yang dipakai, makin baik pula suatu karya dapat dihasilkan.





BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perpustakaan sekolah dapat diartikan sebagai tempat kumpulan koleksi bahan pustaka buku-buku atau tempat buku yang dihimpun dan diorganisasikan sebagai media belajar siswa”. Hakikat penyelenggaran perpustakaan sekolah adalah sebagai pusat sumber belajar dan sumber informasi bagi warga sekolah. Jika dikaitkan dengan proses belajar mengajar di sekolah, perpustakaan sekolah memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam upaya meningkatkan aktivitas siswa serta meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran.
Perpustakaan merupakan sumber belajar dan informasi yang didalamnya terdapat koleksi pustaka yang diatur sedemikian rupa untuk keperluan tertentu sesuai dengan maksud diselenggarakannya pengumpulan koleksi pustaka tersebut. Dalam pengertian tersebut di atas menunjukkan bahwa harus ada lima unsur untuk terpenuhinya syarat sebuah perpustakaan, yakni:(1) merupakan sebuah lembaga; (2) memiliki koleksi bahan pustaka, baik yang tercetak maupun yang terekam; (3) ada yang menggunakan koleksi bahan pustaka; (4) memiliki sarana perpustakaan diantaranya koleksi bahan pustaka, tempat mengatur bahan pustaka, pencatatan/administrasi perpustakaan; dan (5) adanya pengelola perpustakaan yang menguasai di bidang perpustakaan atau pustakawan.
Perpustakaan diharapkan dapat menunjang kelancaran proses belajar mengajar sehingga tujuan yang ditetapkan dapat tercapai. Pencapaian tujuan ini untuk pengembangan pribadi siswa baik dalam mendidik diri sendiri secara berkesinambungan dalam memecahkan segala masalah, mempertinggi sikap social dan menciptakan masyarakat yang demokratis.
Keberadaan perpustakaan sekolah di lingkungan sekolah masih kurang mendapat perhatian. Hal ini dapat dilihat dari rendahnnya pertumbuhan perpustakaan pada lembaga pendidikan, khususnya pada tingkat Pendidikan Menengah dan Pendidikan Dasar. Dari 286.923 unit sekolah di seluruh Indonesia, belum seluruhnya memiliki perpustakaan sekolah (Data Jardiknas, 2009). Selanjutnya data Depdiknas tahun 2007, baru 5 % SD/MI yang mempunyai perpustakaan sekolah, SMP sekitar 42 % dan SMA sekitar 68%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa perpustakaan sekolah belum menjadi prioritas sebagai program yang perlu diperhatikan untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar.
Keberadaan perpustakaan sekolah perlu ditangani secara baik dan memadai. Untuk itu diperlukan pengembangan koleksi yang sesuai dengan kurikulum, organisasi dan penguatan kelembagaan perpustakaan, pengelolaan perpustakaan dengan memanfaatkan teknologi informasi, pelayanan, penyediaan sarana dan prasarana, serta program promosi dan pengembangan perpustakaan. Sebagai sumber belajar perpustakan sekolah mengemban beberapa fungsi yang amat penting. Fungsi perpustakaan tersebut akan dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh komitmen yang tinggi dari seluruh masyarakat sekolah, seperti penentu kebijakan pada tingkat departemen, tingkat daerah, tingkat sekolah (kepala sekolah, guru, dan pengelola perpustakaan).
Perpustakaan sebagai lembaga penyedia ilmu pengetahuan dan informasi mempunyai peranan yang signifikan terhadap lembaga induk serta masyarakat penggunanya. Demikian halnya di dalam lingkungan pendidikan seperti sekolah. Perpustakaan sekolah merupakan pusat sumber ilmu pengetahuan dan informasi yang berada di sekolah, baik tingkat dasar sampai dengan tingkat menengah.
Perpustakaan sekolah harus dapat memainkan peran, khususnya dalam membantu siswa untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Untuk tujuan tersebut, perpustakaan sekolah perlu merealisasikan misi dan kebijakannya dalam memajukan masyarakat sekolah dengan mempersiapkan tenaga pustakawan yang memadai, koleksi yang berkualitas serta serangkaian aktifitas layanan yang mendukung suasana pembelajaran yang menarik. Dengan memaksimalkan perannnya, diharapkan perpustakaan sekolah bias mencetak siswa untuk senantiasa terbiasa dengan aktifitas membaca, memahami pelajaran, mengerti maksud dari sebuah informasi dan ilmu pengetahuan, serta menghasilkan karya bermutu. Sehingga pada akhirnya prestasi pun relatif mudah untuk diraih.
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan terkait pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Pihak Sekolah perlu melakukan berbagai upaya agar perpustakaan dapat berjalan paling tidak sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah.
2. Sekolah perlu mengupayakan untuk menciptakan penguatan organisasi terhadap perpustakaan sekolah.
3. Pihak sekolah perlu mengadakan kerjasama dengan Komite Sekolah untuk mengatasi masalah dana dalam pengembangan perpustakaan, misal dalam penambahan koleksi buku setiap periode tertentu.
4. Perlu diciptakan pengajaran yang terkait dengan pemanfaatan fasilitas yang tersedia di perpustakaan.
5. Perlu diupayakan adanya jam belajar di perpustakaan, sehingga siswa terbiasa memanfaatkan perpustakaan.
6. Perpustakaan sekolah harus dapat memainkan peran, khususnya dalam membantu siswa untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah.
7. Perlunya pemberian rangsangan kepada siswa agar termotivasi untuk memanfaatkan perpustakaan, missal pemberian penghargaan kepada siswa yang meminjam buku paling banyak tiap semesternya.
8. Membangun kerjasama guru dan pustakawan dalam proses pembelajaran yang berkualitas di sekolah.
9. Meningkatkan profesionalisme tenaga perpustakaan sekolah melalui program pendidikan dan pelatihan.



DAFTAR PUSTAKA


Andajani, Aroem.2008.Peran Perpustakaan Sekolah dalam Ikut Serta Pada Kegiatan Pendidikan.Malang:Jurnal Perpustakaan Sekolah.
Darmono.2002.Menjadi Pintar: Memanfaatkan Perpustakaan Sekolah Sebagai Sumber Belajar.Malang:UM press
Ishak.2009.Urgensi Perpustakaan untuk menunjang Sukses Belajar-Mengajar di Lingkungan Sekolah.Medan:USU Press
Martoatmojo, Karmidi.1993.Pelayanan Bahan Pustaka, Jakarta:Universitas Terbuka. Depdikbud
NS, Sutarno.2005.Tanggung Jawab Perpustakaan Dalam Mengembangkan Masyarakat Informasi.Jakarta:Panta Rei.
Pranoto, Edi.1995.Manajemen Perpustakaan Sekolah. Jakarta:Universitas Terbuka. Depdikbud

Jumat, 04 Maret 2011

paradigma kategori guru dan pendekatan supervisi yg digunakan

1. Guru Sebagai Sumber Belajar
Ini adalah paradigma pertama yang harus dirubah menganggap guru sebagai sumber utama belajar, apalagi kalau anggapan ini datang dari guru itu sendiri, sehingga mengganggap dirinya paling super. Ketahuilah, pada era sekarang ini dimana dunia sangat mengglobal diakibatkan hadirnya internet, ilmu bisa dicari dengan mudah tidak dibatasi waktu dan ruang. Sementara masih ada guru kita yang tidak bisa menggunakan internet ini, sedangkan bagi siswa hal ini bukan hal yang luar biasa. Kita bisa bayangkan apa yang terjadi jika siswa sudah menguasai internet , sedangkan gurunya belum. Maka apabila siswa lebih pintar dari pada guru pada saat ini adalah sangat wajar. Oleh sebab itu mindset kita harus kita rubah dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru adalah sebagai fasilitator bagi siswa dalam mendapatkan ilmu. Dan yang paling hebat adalah ketika guru mampu memfasilitasi siswa menemukan bakat dan minatnya.

A. Guru Yang memiliki Tingkat Berfikir Abstrak
Tingkat abstraksi atau kemampuan menggunakan nalar sangat penting dalam melaksanakan tugas-tugas keguruan. Harvey, Hunt, joice, dan Glickman (Hamzah B. Uno, 2007:66) melalui berbagai studi menemukan bahwa guru dengan tingkatan kognitifnya tinggi, akan cenderung berfikir abstrak, imaginiatif, kreatif, dan demokratis. Guru seperti ini akan lebih fleksibel dalam melaksanakan tugas, bahkan memiliki hubungan yang baik dengan siswa dan teman sejawatatnya. Guru-guru yang tingkatan nalarnya tinggi dapat melihat berbagai kemungkinan dan mampu mencari berbagai alternatif model mengajar sehingga mereka umumnya konsekuen dan efektif dalam menghadapi siswa . Dengan model kompetensi menggunakan nalar ini guru bisa melihat sesuatu dari berbagai perspektif. Sebaliknya apabila tingkatan nalarnya rendah, guru hanya mampu menemukan salah satu alternatif saja. Akibatnya guru merasa bingung ketika menghadapi masalah-masalah dalam kelas dan tidak mampu berbuat banyak. Oleh karena itu mereka cenderung meminta petunjuk dalam melaksanakan tugasnya. Kompetensi menggunakan nalar dapat dilukiskan sebagai berikut (Gambar 1).










Tinggi

Kuadran III
Pengamat Analisis








Gambar 1. Paradigma Kategori Guru (Hamzah B. Uno, 2007;66)

B. Guru yang Memiliki Tingkat Komitmen
Guru harus mampu mendefinisikan kembali komitmennya sebagai guru. Ini dalam konteks peningkatan mutu peserta didik sebagai sarana peningkatan daya saing. Artinya profesi guru merupakan panggilan jiwa. Ukuran keberhasilan pendidikan bukan pada hasil materialistik atau seperti lulus ujian 100 persen. Yang terpenting, bagaimana guru bisa mengubah anak didik menjadi seperti apa yang dikehendaki sesuai tujuan pendidikan itu. “ Siswa bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kreatif, berbudi pekerti luhur, dan bangga kepada bangsanya”
Karena itu, kompetensi guru memang masih butuh peningkatan di sana-sini. Misalnya, memotivasi guru atau memberikan kepedulian mengenai pentingnya mendidik anak bukan sekedar dalam kapasitas akademis”. Tapi, yang penting adalah pendidikan akhlak, capacity building, wawasan kedepan tentang cita-cita, memacu kreatifitas dan lainnya. Bagi kemajuan sekolah, manakah yang lebih penting: komitmen guru-guru setelah mengalami perubahan, atau komitmen merekalah yang justru mendorong terjadinya perubahan? Kearah manapun perubahan itu menuju, bisa berhasilmencapai target kalau semua guru komit
Sebab,komit guru pasti akan mendorong rasa percaya diri dan semangat kerja mereka. Komitmen guru akan melancarkan pergerakan sekolah menuju perubahanyang harus merupakan peningkatan baik bersifat fisik mauppun psikologis,sehingga menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga sekolah. D arimana pun memulaimya,pimpinan sekolah mesti lebih dulu fokus pada guru yang menjalankan perubahan,bukan pada fasilitas yang diperolehatau problematika yang dihadapi dengan adanya perubahan itu. Ia tidak perlu cepat-cepat masuk pada konsep-konsep perubahan sebelum memberi perubahan sebelum memberi perhatuan pada cara guru-guru berfikir. Sebab, konsep-konsep yang hebat itu implementasinay akan terpulang pada bagaimana para guru menjalankannya.
Komitmen guru ahrus dibangkitkan oleh pimpinan sekolah yang bisa menyampaikan perubahan-perubahan yang bakal terjadi agar lebih mudah diterima. Untuk itu, diperlukan sesuatu yang kongkret seperti pendekatan visual, diagram, story telling dan sebagainya. Seringkali apa yang dipikirkan oleh pimpinan sekolah adalah apa yang cocok ia jalankan dan bisa ia kuasai, padahal belum tentu semua guru mampu . Oleh karena itu, ungkapan klise yang berbunyi: Bagi guru yang terlambat atau bahkan tidak mau ditarik gerbong perubahan, maka ditinggalkan,adalah suatu kebijakan pimpinana sekolah yang pasti dirasakan menyakitkan.
2. Beberapa Penelitian Tentang Kemampuan Guru
Athur Blumberg (1974) dalam penelitiannya bahwa guru lebih berfikir atau bersifat positif jika pimpinan collaboratif dan non directif. Bila mana Blumberg menemukan bahwa guru senang pada sikap Collaboratif dan non directif maka akan keras pada cara mereka mengajar.
Zains (1977) menanyakan guru-guru mengenai cara-cara member Supervisi mereka, ternyata:
35% Memilih Supervisi Model klinis.
46% Memilih perbaikan Tingkah Laku dan
19% Memilih Mental Healt
Selain itu ada juga yang menolak untuk meneliti hubungan antara gaya mengajar (Teaching Style) dan cara belajar siswa (Student Learning). Broppy (1979) memperhatikan aspek tingkah laku yang dimiliki para siswa seperti achievement, aptitude dan attisudes atau social economic siswa dan hubungannya terhadap pelajaran misalnya: Apakah ada hubungannya antara social ekonomi para siswa dengan hasil belajarnya dan sikap pelajaran yang diberikan oleh para guru.
Ritta dan Kennuch Dunn (1978) malahan melihat dari dalam lagi berbagai variable pengajaran terhadap siswa dikatakan bahwa system belajar mengajar itu mengandung unsur-unsur yang otivasi dan komplek seperti materi pelajaran, lingkungan belajarnya dan pergaulannya terhadap pribadi siswa. Motivasi dan intelegensi serta ciri-ciri jasmani dan psikologis lainnya hampir selama 20 tahun orang-orang sangat menaruh perhatian terhadap gerakan memberi pelajaran dengan memperhatikan perbedaan individu. Dari semua penelitian dikemukakan dua maslah pokok mengenai kemampuan guru yang efektif.
a. Mengenai Kemampuan Berfikir Abstrak pada guru
b. Tingkat Komitmen Guru
Melalui pemandangan-pemandangan yang dikemukakan oleh Maslow Erikson dan Loevinger dapatlah kami mendeteksi suatu kecendrungan perkembangan yang konsisten mulai masa egosentris menuju kepada terjadinya anggota kelompok. Dalam acuan berfikir seperti diatas dapatlah kita melihat perubahan karir khusus para guru. perrkembangan Karir itu atas dasar sebagai berikut:
1. Tahap identifikasi
2. Tahap hierarki
3. Tahap perkembangan individu melalui langkah-langkah tertentu.
Pelopor studi longintudinal terhadap guru francis (1969) menyarankan agar kelebihan waktu guru-guru lebih banyak dialihkan untuk memperhatikan tugas dan profesinya. Disamping itu perlu dipelajari kepribadian guru. Apabila kita menghendaki pelaksanaan kurikulum disekolah dengan baik fuller (1969) menemukan bahwa para calon guru sangat prihatin dengan kelangsungan hidup mereka. Ulasan selanjutnya adalah seandainya para calon guru sangat prihatin dengan kelangsungan hidup mereka, Ulasan selanjutnya adalah seandainya para guru itu punya kepastian terhadap jabatan guru itu dan mereka tidak akan ragu-ragu terhadap jabatannya, maka pastilah mereka akan mengusahakan memperbaiki situasi belajar-mengajar.